Mitos burung Jalak Lawu, nyaring
bergaung di telinga masyarakat kaki Gunung Lawu. Konon, burung jalak
berwarna kelabu ini sering muncul di depan pendaki. Bahkan, satwa ini
diyakini bakal pengantar pendaki hingga ke Argo Dumilah, Pucak Gunung
Lawu.
“Diyakini atau tidak, setiap saya mendaki
pasti menemui Jalak Lawu. Brung itu menclok beberapa meter di depan
kami. Kemudian terbang lagi dan menclok di depan kami lagi,” ujar
Sunaerto, warga Plaosan, Magetan.
Sunarto merupakan salah satu warga yang gemar mendaki ke puncak
Gunung Lawu. Dalam setahun kadang tiga hingga lima kali dia
mendaki.Waktunya tidak tentu.”Setiap bulan Suro saya pasti naik,”
lanjutnya.
Lelaki yang berprofesi sebagai aktivis pemerhati soal kemasyaraktan
di Magetan itu tak lagi asing dengan keberadaan Jalak Lawu. Bahkan dia
sering menjadikannya sebagai penunjuk jalan.”Warga Plaosan yakin, Jalak
Lawu merupakan burung pemandu pendaki. Saya sendiri sering mengikuti
arah terbang dia saat mendaki. Nyatanya gak pernah kesasar, meski cuaca
tak bersahabat,” ujarnya.
Terdapat dua teknik mengamati keberadaan Jalak Lawu. Pertama, jika
cuaca cerah bisa melihat arah terbangnya. Kedua, jika cuaca berkabut,
musti dicermati suara pekikannya.
Belum diketahui pasti berapa ekor burung Jalak yang berhabitat di
Lereng Gunung Lawu.Menurut warga sekitar, dulu burung berwana
keabu-abuan ini banyak dijumpai di kawasan setempat. Tapi sekarang sudah
jarang.
Konon, Jalak Lawu dulunya merupakan burung Jalak piaraan punggawa
Prabu Brawijaya V yang diyakini musna di Gunung Lawu. Brung itu
beranak-pinak dan terus berhabitat di kawasan gunung yang berlokasi di
perbatasan Jatim-Jateng itu.Sebagai pendaki sejati buktikan kalau anda pecinta alam dengan tidak memburu hewan atau binatang di gunung termasuk sang pemandu gunung lawu jalak lawu.
Rabu, 25 Januari 2012
Jumat, 20 Januari 2012
Gunung Lawu
Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api
"istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya
vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil
yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu
mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan
Montane, dan hutan
Ericaceous.
Gunung Lawu memiliki tiga puncak,
Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah
puncak tertinggi.
Di lereng gunung ini terdapat
sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah
Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat
dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak
komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran:
Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua
Indonesia, Suharto.
Pendakian
Gunung Lawu sangat populer untuk
kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah
dengan mendaki hingga ke puncak. Karena populernya, di puncak gunung bahkan
dapat dijumpai pedagang makanan.
Pendakian standar dapat dimulai dari
dua tempat (basecamp): Cemorokandang di Tawangmangu,
Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Sarangan,
Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.
Pendakian dari Cemorosewu melalui
dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan
Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5.
Pendakian melalui Cemorokandang akan
melewati 5 selter dengan jalur yang relatif telah tertata dengan baik.
Pendakian melalui cemorosewu akan melewati
5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat
jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur
Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik.
Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata.
Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa
tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke4 baru direnovasi,jadi untuk saat ini
di pos4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah
sampai di pos 4.
Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat
telaga Sarangan dari kejahuan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak
nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos2 terdapat watu gedhe yang
kami namai watu iris(karena seperti di iris).
Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat
suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam.Untuk mendaki melalui
Cemorosewu(bagi pemula) janganlah mendaki di siang hari karena medannya berat
untuk pemula.
Di atas puncak Hargo Dumilah
terdapat satu tugu.
Misteri gunung Lawu
Gunung Lawu menyimpan misteri pada
masing-masing dari tiga puncak utamanya dan menjadi tempat yang dimitoskan
sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini
sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini
sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang
penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah
batin dan meditasi.
Konon gunung Lawu merupakan pusat
kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya
Praja Mangkunegaran.
Setiap orang yang hendak pergi ke
puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan
sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar
di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Tempat-tempat lain yang diyakini
misterius oleh penduduk setempat yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang
Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya,
dan Pringgodani.
Legenda gunung Lawu
Cerita dimulai dari masa akhir
kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun
Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang
terkenal ialah Dara Petak putri dari
daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden
Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.
Raden Fatah setelah dewasa agama islam
berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya
Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak).
Melihat kondisi yang demikian itu ,
masygullah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun
akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya
didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit
memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu
dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan
keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum
sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala
dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega
membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah,
"Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa
dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat
kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk
gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur
hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan ,
dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan
kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Tak kuasa menahan gejolak di
hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila
demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik
ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini.
Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya
pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah
Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan
kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia
melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Obyek wisata
Obyek wisata di sekitar gunung Lawu
antara lain:
- Telaga Sarangan
- Kawah Telaga Kuning
- Kawah Telaga Lembung Selayur.
- Wana wisata sekitar Gunung Lawu
- Sekitar Desa Ngancar:
- Air Terjun Pundak Kiwo
- Air Terjun Watu Ondo
- Air Terjun Jarakan
- Watu Ongko
- Pasir Emas
- Tawangmangu
- Cemorosewu
- Candi Sukuh
- Candi Cetho
- Komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran:
- Astana Girilayu
- Astana Mangadeg
- Astana Giribangun
Kais Rezeki Bertarung dengan Mentari
Pengrajin Batu Bata |
SRAGEN - Ribuan bata mentah tertata rapi di hamparan tanah seluas 500m2.
Seorang perempuan muda tampak sibuk membalik satu persatu bata setengah kering,
hasil cetakan kemarin. Meski terik mentari panas memanggang punggung, tak ada
raut gusar di wajahnya. Panas matahari inilah yang membuat pundi-pundi
rupiahnya tetap terisi.
Sudah sejak lama, kampung Putatan, Kelurahan Kroyo, Kecamatan Karangmalang,
Sragen dikenal sebagai daerah penghasil bata dan genting. Hampir separuh warga
kampung Putatan menggantungkan hidupnya dengan memproduksi bahan bangunan ini.
Beberapa tahun lalu, masih banyak dijumpai pengrajin genting tradisional, yang membuat genting secara manual. Seluruh proses pembuatannya menggunakan tenaga manusia. Peralatan yang digunakanpun masih sangat sederhana. Seiring berjalannya waktu, pengrajin genting dan bata di kampung Putatan kini mulai menggunakan peralatan yang lebih modern. Hanya pencetakan batu bata yang masih harus dikerjakan tangan manusia satu persatu.
Adalah Wiji Lestari, yang selama 12 tahun belakangan menekuni usaha ini di rumahnya. Ia mengikuti jejak sebagian warga Putatan lainnya yang telah lama bergelut dengan olahan tanah lempung ini. Ketika ditemui di rumah yang sekaligus menjadi bengkel kerjanya, ibu dua anak ini mengatakan, kini banyak pengrajin genting yang beralih menjadi pengrajin batu bata. Hanya sedikit warga yang bertahan membuat genting. Alasannya, untuk membuat genting, dibutuhkan tanah liat berkualitas. Bahan dasar genting itu kini sulit dijumpai. Lagipula, untuk menghasilkan genting berkualitas tinggi juga dibutuhkan kejelian dalam mengolah komposisi campuran bahannya. Lain halnya dengan bata. Selain proses pembuatannya lebih mudah, tanah yang digunakan relatif lebih ‘luwes’ hingga mudah didapatkan.
Beberapa tahun lalu, masih banyak dijumpai pengrajin genting tradisional, yang membuat genting secara manual. Seluruh proses pembuatannya menggunakan tenaga manusia. Peralatan yang digunakanpun masih sangat sederhana. Seiring berjalannya waktu, pengrajin genting dan bata di kampung Putatan kini mulai menggunakan peralatan yang lebih modern. Hanya pencetakan batu bata yang masih harus dikerjakan tangan manusia satu persatu.
Adalah Wiji Lestari, yang selama 12 tahun belakangan menekuni usaha ini di rumahnya. Ia mengikuti jejak sebagian warga Putatan lainnya yang telah lama bergelut dengan olahan tanah lempung ini. Ketika ditemui di rumah yang sekaligus menjadi bengkel kerjanya, ibu dua anak ini mengatakan, kini banyak pengrajin genting yang beralih menjadi pengrajin batu bata. Hanya sedikit warga yang bertahan membuat genting. Alasannya, untuk membuat genting, dibutuhkan tanah liat berkualitas. Bahan dasar genting itu kini sulit dijumpai. Lagipula, untuk menghasilkan genting berkualitas tinggi juga dibutuhkan kejelian dalam mengolah komposisi campuran bahannya. Lain halnya dengan bata. Selain proses pembuatannya lebih mudah, tanah yang digunakan relatif lebih ‘luwes’ hingga mudah didapatkan.
Tak ada kendala mendapatkan bahan baku batu bata, aku Wiji. Para
petani sawah dengan senang hati menjual lapisan teratas tanah sawahnya untuk
mengurangi ketinggian, hingga memudahkan air mengalir ke lahan tersebut.
Lempung sebanyak satu bak penuh mobil pick up dijual seharga Rp.35.000,00. Ini
cukup untuk membuat 1000 keping bata. Meski harga ini fluktuatif tergantung
situasi dan kondisi, namun, kata Wiji, tanah lempung selalu tersedia.
Tak Asal Tumpuk
Proses pembuatan batu bata relatif sederhana. Lempung yang masih keras dicampur dengan abu sisa pembakaran bata, dengan perbandingan 3:1. Lalu, disiram air secukupnya. Setelah melunak, diaduk dengan cangkul, lalu dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Lempung yang telah lembut itu segera dicetak secara manual, dan ditata di atas tanah untuk dijemur. Setelah bata mentah cukup keras, sisi-sisi bata dirapikan. Selanjutnya, serahkan saja pada teriknya matahari, untuk menuntaskan proses pengeringan hingga siap dibakar. Di musim kemarau, bata betul-betul kering dalam waktu tujuh hari. Sedangkan pada musim hujan, setelah 10-15 hari bata mentah baru siap dibakar.
Menata bata mentah di dalam ‘tobong’ ternyata memiliki seni dan aturan tersendiri. Tidak asal tumpuk saja. Jika diabaikan, bata bisa saja tak terbakar sempurna, atau bahkan gosong hingga berkurang estetikanya. Bata mentah ditata sedemikian rupa setinggi 2 m, dan diberi sela sepanjang 20 cm diantara tumpukan bata di sebelahnya. Ruang ini berfungsi untuk tempat kulit padi (brambut; jawa), yang menjadi bahan bakar utama pembakaran bata.
Selama seminggu penuh, bata mentah terkurung dalam onggokan brambut panas. Brambut harus dikontrol kuantitas dan panasnya. Sekali obong, kata Wiji, dibutuhkan 300 karung brambut untuk mematangkan 10.000 keping bata. Di musim kemarau seperti sekarang ini,Wiji mengaku dapat membakar bata dua kali sebulan.
Terbatasnya ketersediaan brambut ketika musim tanam, menjadi kendala bagi kelangsungan produksi bata perempuan 37 tahun ini. Akibatnya, ia harus kreatif menggunakan bahan substitusi, untuk membakar batanya. Tak ada brambut, kayu bakarpun jadi.
Selalu Berproduksi
Berawal dari mulut ke mulut, kini produk bata Wiji telah tersebar di seantero Sragen dan sekitarnya. Ia mematok bandrol Rp. 3 juta per 10.000 keping bata. Harga ini tidak termasuk ongkos kirim dan tenaga pengusung, yang mencapai Rp. 350.000,00 untuk dalam kota. Pesananpun selalu mengalir. Tak jarang pemesan harus menunggu hingga dua bulan untuk mendapatkan bata yang dibutuhkan. “Untuk sebuah rumah ukuran standart, biasanya diperlukan 10.000 keping bata,” kata istri Joko Subagyo (39) ini. Dalam proses pembangunannya, seringkali pelanggan Wiji menambah lagi pesanan batu bata hingga 5.000 keping. Itulah sebabnya, selama ada kesempatan, Wiji tak pernah berhenti membuat bata.
“Bata buatan saya ukurannya lebih besar,” kata Wiji. Untuk dapat melayani pesanan yang tak pernah sepi, ia bekerjasama dengan pengrajin lain, yang memiliki cetakan batu bata yang sama dengan produknya. Jadi, ia membuat beberapa cetakan, dan menyebarkannya ke pengrajin lain di kampung Putatan.
Selain menyediakan lapangan kerja bagi tetangga sekitarnya, usaha ini mendatangkan keuntungan yang relatif besar. Dalam sebulan, Wiji mengaku dapat menangguk untung bersih tak kurang dari Rp. 2 juta. Dengan penghasilan sebesar itu, ia mampu menghidupi keluarganya.
Salah Satu Unsur Ketahanan Desa
Keuletan Wiji bergelut dengan bisnis bata ini mengingatkan pada pesan Bupati Sragen H Untung Wiyono, ketika memberikan bantuan dalam Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) di Tangen beberapa waktu lalu. Saat itu Bupati menyampaikan beberapa hal penting mengenai ketahanan desa. Masyarakat desa, kata Bupati, harus kreatif dan produktif, hingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, yang pada gilirannya akan membawa peningkatan atas kesejahteraan desanya. Potensi yang ada di tiap desa harus dioptimalkan, hingga tiap desa memiliki kekhasan dan produk lokalnya sendiri. Pemberdayaan masyarakat desa adalah bekal untuk mencapai ketahanan desa yang kuat. Adapun ketahanan desa, kata Bupati, merupakan pondasi kemakmuran bangsa. Genting dan bata made in Kampung Putatan telah dikenal luas. Pemasarannyapun merambah hingga luar kota. Dengan mempertahankan kualitas, usaha ini mampu bertahan dari waktu ke waktu.
Tak Asal Tumpuk
Proses pembuatan batu bata relatif sederhana. Lempung yang masih keras dicampur dengan abu sisa pembakaran bata, dengan perbandingan 3:1. Lalu, disiram air secukupnya. Setelah melunak, diaduk dengan cangkul, lalu dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Lempung yang telah lembut itu segera dicetak secara manual, dan ditata di atas tanah untuk dijemur. Setelah bata mentah cukup keras, sisi-sisi bata dirapikan. Selanjutnya, serahkan saja pada teriknya matahari, untuk menuntaskan proses pengeringan hingga siap dibakar. Di musim kemarau, bata betul-betul kering dalam waktu tujuh hari. Sedangkan pada musim hujan, setelah 10-15 hari bata mentah baru siap dibakar.
Menata bata mentah di dalam ‘tobong’ ternyata memiliki seni dan aturan tersendiri. Tidak asal tumpuk saja. Jika diabaikan, bata bisa saja tak terbakar sempurna, atau bahkan gosong hingga berkurang estetikanya. Bata mentah ditata sedemikian rupa setinggi 2 m, dan diberi sela sepanjang 20 cm diantara tumpukan bata di sebelahnya. Ruang ini berfungsi untuk tempat kulit padi (brambut; jawa), yang menjadi bahan bakar utama pembakaran bata.
Selama seminggu penuh, bata mentah terkurung dalam onggokan brambut panas. Brambut harus dikontrol kuantitas dan panasnya. Sekali obong, kata Wiji, dibutuhkan 300 karung brambut untuk mematangkan 10.000 keping bata. Di musim kemarau seperti sekarang ini,Wiji mengaku dapat membakar bata dua kali sebulan.
Terbatasnya ketersediaan brambut ketika musim tanam, menjadi kendala bagi kelangsungan produksi bata perempuan 37 tahun ini. Akibatnya, ia harus kreatif menggunakan bahan substitusi, untuk membakar batanya. Tak ada brambut, kayu bakarpun jadi.
Selalu Berproduksi
Berawal dari mulut ke mulut, kini produk bata Wiji telah tersebar di seantero Sragen dan sekitarnya. Ia mematok bandrol Rp. 3 juta per 10.000 keping bata. Harga ini tidak termasuk ongkos kirim dan tenaga pengusung, yang mencapai Rp. 350.000,00 untuk dalam kota. Pesananpun selalu mengalir. Tak jarang pemesan harus menunggu hingga dua bulan untuk mendapatkan bata yang dibutuhkan. “Untuk sebuah rumah ukuran standart, biasanya diperlukan 10.000 keping bata,” kata istri Joko Subagyo (39) ini. Dalam proses pembangunannya, seringkali pelanggan Wiji menambah lagi pesanan batu bata hingga 5.000 keping. Itulah sebabnya, selama ada kesempatan, Wiji tak pernah berhenti membuat bata.
“Bata buatan saya ukurannya lebih besar,” kata Wiji. Untuk dapat melayani pesanan yang tak pernah sepi, ia bekerjasama dengan pengrajin lain, yang memiliki cetakan batu bata yang sama dengan produknya. Jadi, ia membuat beberapa cetakan, dan menyebarkannya ke pengrajin lain di kampung Putatan.
Selain menyediakan lapangan kerja bagi tetangga sekitarnya, usaha ini mendatangkan keuntungan yang relatif besar. Dalam sebulan, Wiji mengaku dapat menangguk untung bersih tak kurang dari Rp. 2 juta. Dengan penghasilan sebesar itu, ia mampu menghidupi keluarganya.
Salah Satu Unsur Ketahanan Desa
Keuletan Wiji bergelut dengan bisnis bata ini mengingatkan pada pesan Bupati Sragen H Untung Wiyono, ketika memberikan bantuan dalam Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) di Tangen beberapa waktu lalu. Saat itu Bupati menyampaikan beberapa hal penting mengenai ketahanan desa. Masyarakat desa, kata Bupati, harus kreatif dan produktif, hingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, yang pada gilirannya akan membawa peningkatan atas kesejahteraan desanya. Potensi yang ada di tiap desa harus dioptimalkan, hingga tiap desa memiliki kekhasan dan produk lokalnya sendiri. Pemberdayaan masyarakat desa adalah bekal untuk mencapai ketahanan desa yang kuat. Adapun ketahanan desa, kata Bupati, merupakan pondasi kemakmuran bangsa. Genting dan bata made in Kampung Putatan telah dikenal luas. Pemasarannyapun merambah hingga luar kota. Dengan mempertahankan kualitas, usaha ini mampu bertahan dari waktu ke waktu.
Langganan:
Postingan (Atom)