Jumat, 20 Januari 2012

Kais Rezeki Bertarung dengan Mentari

Pengrajin Batu Bata
SRAGEN - Ribuan bata mentah tertata rapi di hamparan tanah seluas 500m2. Seorang perempuan muda tampak sibuk membalik satu persatu bata setengah kering, hasil cetakan kemarin. Meski terik mentari panas memanggang punggung, tak ada raut gusar di wajahnya. Panas matahari inilah yang membuat pundi-pundi rupiahnya tetap terisi.

Sudah sejak lama, kampung Putatan, Kelurahan Kroyo, Kecamatan Karangmalang, Sragen dikenal sebagai daerah penghasil bata dan genting. Hampir separuh warga kampung Putatan menggantungkan hidupnya dengan memproduksi bahan bangunan ini.

Beberapa tahun lalu, masih banyak dijumpai pengrajin genting tradisional, yang membuat genting secara manual. Seluruh proses pembuatannya menggunakan tenaga manusia. Peralatan yang digunakanpun masih sangat sederhana. Seiring berjalannya waktu, pengrajin genting dan bata di kampung Putatan kini mulai menggunakan peralatan yang lebih modern. Hanya pencetakan batu bata yang masih harus dikerjakan tangan manusia satu persatu.

Adalah Wiji Lestari, yang selama 12 tahun belakangan menekuni usaha ini di rumahnya. Ia mengikuti jejak sebagian warga Putatan lainnya yang telah lama bergelut dengan olahan tanah lempung ini. Ketika ditemui di rumah yang sekaligus menjadi bengkel kerjanya, ibu dua anak ini mengatakan, kini banyak pengrajin genting yang beralih menjadi pengrajin batu bata. Hanya sedikit warga yang bertahan membuat genting. Alasannya, untuk membuat genting, dibutuhkan tanah liat berkualitas. Bahan dasar genting itu kini sulit dijumpai. Lagipula, untuk menghasilkan genting berkualitas tinggi juga dibutuhkan kejelian dalam mengolah komposisi campuran bahannya. Lain halnya dengan bata. Selain proses pembuatannya lebih mudah, tanah yang digunakan relatif lebih ‘luwes’ hingga mudah didapatkan.
Tak ada kendala mendapatkan bahan baku batu bata, aku Wiji. Para petani sawah dengan senang hati menjual lapisan teratas tanah sawahnya untuk mengurangi ketinggian, hingga memudahkan air mengalir ke lahan tersebut. Lempung sebanyak satu bak penuh mobil pick up dijual seharga Rp.35.000,00. Ini cukup untuk membuat 1000 keping bata. Meski harga ini fluktuatif tergantung situasi dan kondisi, namun, kata Wiji, tanah lempung selalu tersedia.

Tak Asal Tumpuk


Proses pembuatan batu bata relatif sederhana. Lempung yang masih keras dicampur dengan abu sisa pembakaran bata, dengan perbandingan 3:1. Lalu, disiram air secukupnya. Setelah melunak, diaduk dengan cangkul, lalu dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Lempung yang telah lembut itu segera dicetak secara manual, dan ditata di atas tanah untuk dijemur. Setelah bata mentah cukup keras, sisi-sisi bata dirapikan. Selanjutnya, serahkan saja pada teriknya matahari, untuk menuntaskan proses pengeringan hingga siap dibakar. Di musim kemarau, bata betul-betul kering dalam waktu tujuh hari. Sedangkan pada musim hujan, setelah 10-15 hari bata mentah baru siap dibakar.

Menata bata mentah di dalam ‘tobong’ ternyata memiliki seni dan aturan tersendiri. Tidak asal tumpuk saja. Jika diabaikan, bata bisa saja tak terbakar sempurna, atau bahkan gosong hingga berkurang estetikanya. Bata mentah ditata sedemikian rupa setinggi 2 m, dan diberi sela sepanjang 20 cm diantara tumpukan bata di sebelahnya. Ruang ini berfungsi untuk tempat kulit padi (brambut; jawa), yang menjadi bahan bakar utama pembakaran bata.

Selama seminggu penuh, bata mentah terkurung dalam onggokan brambut panas. Brambut harus dikontrol kuantitas dan panasnya. Sekali obong, kata Wiji, dibutuhkan 300 karung brambut untuk mematangkan 10.000 keping bata. Di musim kemarau seperti sekarang ini,Wiji mengaku dapat membakar bata dua kali sebulan.

Terbatasnya ketersediaan brambut ketika musim tanam, menjadi kendala bagi kelangsungan produksi bata perempuan 37 tahun ini. Akibatnya, ia harus kreatif menggunakan bahan substitusi, untuk membakar batanya. Tak ada brambut, kayu bakarpun jadi.

Selalu Berproduksi

Berawal dari mulut ke mulut, kini produk bata Wiji telah tersebar di seantero Sragen dan sekitarnya. Ia mematok bandrol Rp. 3 juta per 10.000 keping bata. Harga ini tidak termasuk ongkos kirim dan tenaga pengusung, yang mencapai Rp. 350.000,00 untuk dalam kota. Pesananpun selalu mengalir. Tak jarang pemesan harus menunggu hingga dua bulan untuk mendapatkan bata yang dibutuhkan. “Untuk sebuah rumah ukuran standart, biasanya diperlukan 10.000 keping bata,” kata istri Joko Subagyo (39) ini. Dalam proses pembangunannya, seringkali pelanggan Wiji menambah lagi pesanan batu bata hingga 5.000 keping. Itulah sebabnya, selama ada kesempatan, Wiji tak pernah berhenti membuat bata.

“Bata buatan saya ukurannya lebih besar,” kata Wiji. Untuk dapat melayani pesanan yang tak pernah sepi, ia bekerjasama dengan pengrajin lain, yang memiliki cetakan batu bata yang sama dengan produknya. Jadi, ia membuat beberapa cetakan, dan menyebarkannya ke pengrajin lain di kampung Putatan.

Selain menyediakan lapangan kerja bagi tetangga sekitarnya, usaha ini mendatangkan keuntungan yang relatif besar. Dalam sebulan, Wiji mengaku dapat menangguk untung bersih tak kurang dari Rp. 2 juta. Dengan penghasilan sebesar itu, ia mampu menghidupi keluarganya.

Salah Satu Unsur Ketahanan Desa

Keuletan Wiji bergelut dengan bisnis bata ini mengingatkan pada pesan Bupati Sragen H Untung Wiyono, ketika memberikan bantuan dalam Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) di Tangen beberapa waktu lalu. Saat itu Bupati menyampaikan beberapa hal penting mengenai ketahanan desa. Masyarakat desa, kata Bupati, harus kreatif dan produktif, hingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, yang pada gilirannya akan membawa peningkatan atas kesejahteraan desanya. Potensi yang ada di tiap desa harus dioptimalkan, hingga tiap desa memiliki kekhasan dan produk lokalnya sendiri. Pemberdayaan masyarakat desa adalah bekal untuk mencapai ketahanan desa yang kuat. Adapun ketahanan desa, kata Bupati, merupakan pondasi kemakmuran bangsa. Genting dan bata made in Kampung Putatan telah dikenal luas. Pemasarannyapun merambah hingga luar kota. Dengan mempertahankan kualitas, usaha ini mampu bertahan dari waktu ke waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar